Kamis, 17 Mei 2012

Tembaga


1. Pendahuluan
      Tembaga adalah unsur logam pertama yang diekstrak dari mineral, dan seperti halnya timah putih telah digunakan oleh manusia sejak zaman perunggu. Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan teknologi, penggunaan tembaga terus mengalami peningkatan. Eksplorasi intensif untuk mendapatkan cebakan tembaga masih berlangsung di seluruh dunia terutama untuk memenuhi kebutuhan industri, dan karena merupakan konduktor listrik yang sangat baik sehingga tembaga digunakan untuk produk elektronik. Sementara konsumsi tembaga untuk bahan bangunan menempati urutan kedua, antara lain untuk bahan baku pembuatan pipa, ventilasi, dan logam lembaran.
      Kelompok tiga besar cebakan bijih tembaga dunia dari jenis porfiri dengan kandungan emas tinggi, yaitu Bingham di Amerika Serikat, OK-Tedi di Papua New-Guinea, dan Grasberg di Indonesia. Emas Grasberg sebagai unsure logam ikutan dari jenis mineralisasi yang sama merupakan cadangan terbesar di dunia. Cebakan tembaga tipe porfiri di Indonesia dapat dijumpai di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Tetapi hanya cebakan porfiri Grasberg dan Batu Hijau yang dapat diusahakan secara ekonomis. Beberapa cebakan berkadar rendah di antaranya belum layak untuk diusahakan apabila dikaitkan dengan kondisi harga tembaga pada saat ini. Sementara setelah ditetapkannya batas kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone; maka cebakan tembaga porfiri di Cabang Kiri, Cabang Kanan dan Sungai Mak di Bone Bolango, Gorontalo tidak dapat diusahakan karena menjadi bagian dari kawasan taman nasional tersebut.


Gambar 1.1 Tabel  hasil asesmen sumber daya tembaga dan emas Indonesia, sumber USGS

      Tambang Grasberg dan Batu Hijau menurut skala dunia termasuk kedalam kategori ukuran raksasa. Dengan radius bukaan akhir tambang berdiameter lebih dari dua kilometer dan kedalaman sekitar satu kilometer diperlukan pembangunan infrastruktur penambangan dan pengolahan berkapasitas besar. Pada dua lokasi tambang tersebut dapat dijumpai truk, buldozer, dan shovel berukuran raksasa, sama halnya dengan instalasi permukaan, penggerusan, pengolahan dan infrastruktur pendukung lainnya, yang seluruhnya berkapasitas sangat besar. Pengusahaan pertambangan bijih tembaga berskala besar pertama di Indonesia dilakukan di Papua, yaitu dari cebakan Grasberg dan Eastberg, kemudian disusul oleh pengusahaan pertambangan kedua dari cebakan Batu Hijau di Sumbawa. Cebakan Grasberg dan Batu Hijau merupakan cebakan tembaga primer berjenis Cu-Au porfiri, berdimensi besar, dimana penambangan dilakukan dengan metode tambang terbuka. Kedua cebakan bijih mempunyai kandungan utama tembaga (Cu) dengan unsur ikutan berupa emas (Au) dan perak (Ag). Selain memiliki kandungan sulfida yang tinggi, sulfur juga berpotensi menjadi komoditas bernilai ekonomis. 
Dari kedua kawasan pertambangan tembaga Grasberg dan Batu Hijau, yang disebut pertama berada pada daerah yang paling terpencil di dunia. Grasberg berada pada jalur metalogenik Irian Jaya Tengah, sedangkan Batu Hijau berada pada jalur Sunda-Banda.

2. Mineralogi Tembaga
      Secara mineralogi bijih tembaga dibagi menjadi empat kelompok besar yaitu
a. Mineral tembaga murni
b. Mineral sulfide tembaga
c. Minera oksida tembaga
d. Mineral tembaga kompleks
      Mineral-mineral gangue bijih tembaga yang utama antara lain : kuarsa, aklsit, dolomite, siderite, rhodochrosit, barit, dan zeolit. Pada umumnya bijih tembaga, yang berbentuk sulfide berasosiasi dengan monzonit, kuarsa atau batuan sejenis dengannya dan agak jarang berasosiasi dengan intrusi yang bersifat basa.
3. Genesis Tembaga
Endapan tembaga terbentuk dengan berbagai cara antara lain, yaitu :
Terbentuk dengan cara replacement
Terbentuk oleh pembekuan magma, dengan endapan mineral bornit dan kalkopirit jarang dengan pirit (sulfide)
Terbentuk oleh metasomatisme kontak (kalkopirit dan bornit dengan pirit, pirrhotit, tembaga sfalerit, molibdenit dan oksida.
Endapan sedimenter tembaga
      Contoh cebakan bijih tembaga yang sudah dieksplorasi dan dieksploitasi di Indonesia dan termasuk dalam kategori skala besar adalah cebakan bijih tembaga Grasberg dan Batu Hijau. Cebakan bijih tembaga Grasberg terbentuk pada batuan terobosan yang menembus batuan samping batugamping. Mineral sulfida yang terkandung dalam cebakan bijih tembaga porfiri Cu – Au Grasberg, terdiri dari bornit (Cu5FeS4), kalkosit (Cu2S), kalkopirit (CuFeS2), digenit (Cu9S5), dan pirit (FeS2). Sedangkan emas (Au) umumnya terdapat sebagai inklusi di dalam mineral sulfida tembaga, dengan konsentrasi emas yang tinggi ditunjukkan oleh kehadiran mineral pirit. Grasbergmasih mengandung cadangan sekitar 1.109 juta ton bijih dengan kadar 1,02% Cu, 1,19 ppm Au, dan 3 ppm Ag. Cebakan bijih tembaga Batu Hijau terbentuk sebagai mineralisasi yang terpusat pada stock tonalit tua dan cenderung berubah secara berangsur ke arah lateral dan vertikal. Mineral sulfida tembaga terdiri dari bornit, kalkopirit, digenit, kalkosit dan kovelit (CuS). Terdapat korelasi yang kuat antara Cu dan Au pada tonalit tua dan batuan samping di sekitarnya, dengan kandungan keduanya meningkat ke arah bawah. Mineralisasi lebih lemah terjadi pada tonalit muda dengan kadar <0,3% Cu dan <0,5 g/t Au,sementara kadar yang paling kecil <0,15% Cu terdeteksi pada retas-retas tonalit. Sulfida tembaga utama terbentuk sebagai pengisian rekahan dan berasosiasi dengan stockwork urat kuarsa yang mengisi 5 – 30% volume tonalit, yang meluas hingga melebihi 100 meter ke arah atas dan batuan samping. Hanya sedikit berupa sebaran (dissemination) di dalam masadasar batuan. Sedangkan retas-retas tonalit muda mengandung sangat sedikit urat, dan termineralisasi lemah (mengandung <0,30% Cu).


Gambar 3.1. Gambar contoh model cebakan bijih tembaga di Batu Hijau dan Grasberg

      Sebagian besar endapan tembaga yang ditemukan merupakan cadangan besar berasal dari larutan hydrothermal dan proses penggantian, lebih dominan dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh proses pengisian celah celah. Endapan yang berbentuk dari hasil metasomatik kontak dan yang langsung dipisahkan dari magma sangat sedikit dan hampi tidak berarti.


Gambar 3.2. Model dan tipe mineralisasi logam pada beberapa lokasi tambang di Indonesia

4. Penelitian, Penambangan dan Pengolahan Bijih Tembaga
4.1. Eksplorasi
      Di Indonesia sendiri nama-mana dinas atau divisi suatu organisasi perusahaan, lembaga pemerintahan serta penelitian memakai istilah eksplorasi untuk kegiatannya yang mencakup mulai dari mencari prospek sampai menentukan besarnya cadangan mineral. Sebaliknya ada beberapa negara, misalnya Perancis dan Uni Soviet (sebelum negara ini bubar) yang menggunakan istilah eksplorasi untuk kegiatan mencari mineralisasi dan prospeksi untuk kegiatan penilaian ekonomi suatu prospek (Peters, 1978). Selanjutnya istilah eksplorasi mineral yang dipakai dalam pembahasan ini berarti keseluruhan urutan kegiatan mulai mencari letak mineralisasi sampai menentukan cadangan insitu hasil temuan mineralisasi. 
      Berikut di bawah ini adalah tahap-tahap dalam perencanaan kegiatan eksplorasi secara umum. Tahap- tahap itu adalah sebagai berikut.
1. Tahap Eksplorasi Pendahuluan
Menurut White (1997), dalam tahap eksplorasi pendahuluan ini tingkat ketelitian yang diperlukan masih kecil sehingga peta-peta yang digunakan dalam eksplorasi pendahuluan juga berskala kecil 1 : 50.000 sampai 1 : 25.000. Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini adalah :
a. Studi Literatur
      Dalam tahap ini, sebelum memilih lokasi-lokasi eksplorasi dilakukan studi terhadap data dan peta-peta yang sudah ada (dari survei-survei terdahulu), catatan-catatan lama, laporan-laporan temuan dan lai-lain, lalu dipilih daerah yang akan disurvei. Setelah pemilihan lokasi ditentukan langkah berikutnya, studi faktor-faktor geologi regional dan provinsi metalografi dari peta geologi regional sangat penting untuk memilih daerah eksplorasi, karena pembentukan endapan bahan galian dipengaruhi dan tergantung pada proses-proses geologi yang pernah terjadi, dan tanda-tandanya dapat dilihat di lapangan.
b. Survei dan Pemetaan
      Jika peta dasar (peta topografi) dari daerah eksplorasi sudah tersedia, maka survei dan pemetaan singkapan (outcrop) atau gejala geologi lainnya sudah dapat dimulai (peta topografi skala 1 : 50.000 atau 1 : 25.000). Tetapi jika belum ada, maka perlu dilakukan pemetaan topografi lebih dahulu. Kalau di daerah tersebut sudah ada peta geologi, maka hal ini sangat menguntungkan, karena survei bisa langsung ditujukan untuk mencari tanda-tanda endapan yang dicari (singkapan), melengkapi peta geologi dan mengambil conto dari singkapan-singkapan yang penting.
      Selain singkapan-singkapan batuan pembawa bahan galian, yang perlu juga diperhatikan adalah perubahan/batas batuan, orientasi lapisan batuan sedimen (jurus dan kemiringan), orientasi sesar dan tanda-tanda lainnya. Hal-hal penting tersebut harus diplot pada peta dasar dengan bantuan alat-alat seperti kompas geologi, inklinometer, altimeter, serta tanda-tanda alami seperti bukit, lembah, belokan sungai, jalan, kampung, dan lain-lain. Dengan demikian peta geologi dapat dilengkapi atau dibuat baru (peta singkapan).
Tanda-tanda yang sudah diplot pada peta tersebut kemudian digabungkan dan dibuat penampang tegak atau model penyebarannya (model geologi). Dengan model geologi hepatitik tersebut kemudian dirancang pengambilan conto dengan cara acak, pembuatan sumur uji (test pit), pembuatan paritan (trenching), dan jika diperlukan dilakukan pemboran. Lokasi-lokasi tersebut kemudian harus diplot dengan tepat di peta (dengan bantuan alat ukur, teodolit, BTM, dan lain-lain).
Dari kegiatan ini akan dihasilkan model geologi, model penyebaran endapan, gambaran mengenai cadangan geologi, kadar awal, dll. dipakai untuk menetapkan apakah daerah survei yang bersangkutan memberikan harapan baik (prospek) atau tidak. Kalau daerah tersebut mempunyai prospek yang baik maka dapat diteruskan dengan tahap eksplorasi selanjutnya.
2. Tahap Eksplorasi Detail
      Setelah tahapan eksplorasi pendahuluan diketahui bahwa cadangan yang ada mempunyai prospek yang baik, maka diteruskan dengan tahap eksplorasi detail (White, 1997). Kegiatan utama dalam tahap ini adalah sampling dengan jarak yang lebih dekat (rapat), yaitu dengan memperbanyak sumur uji atau lubang bor untuk mendapatkan data yang lebih teliti mengenai penyebaran dan ketebalan cadangan (volume cadangan), penyebaran kadar/kualitas secara mendatar maupun tegak. Dari sampling yang rapat tersebut dihasilkan cadangan terhitung dengan klasifikasi terukur, dengan kesalahan yang kecil (<20%), sehingga dengan demikian perencanaan tambang yang dibuat menjadi lebih teliti dan resiko dapat dihindarkan.
      Pengetahuan atau data yang lebih akurat mengenai kedalaman, ketebalan, kemiringan, dan penyebaran cadangan secara 3-Dimensi (panjang-lebar-tebal) serta data mengenai kekuatan batuan sampling, kondisi air tanah, dan penyebaran struktur (kalau ada) akan sangat memudahkan perencanaan kemajuan tambang, lebar/ukuran bahwa bukaan atau kemiringan lereng tambang. Juga penting untuk merencanakan produksi bulanan/tahunan dan pemilihan peralatan tambang maupun prioritas bantu lainnya.
3. Studi Kelayakan
    Pada tahap ini dibuat rencana peoduksi, rencana kemajuan tambang, metode penambangan, perencanaan peralatan dan rencana investasi tambang. Dengan melakukan analisis ekonomi berdasarkan model, biaya produksi penjualan dan pemasaran maka dapatlah diketahui apakah cadangan bahan galian yang bersangkutan dapat ditambang dengan menguntungkan atau tidak.
4.2. Penambangan Bijih Tembaga 
      Menurut Sukandarrumidi (2009) penambangan dilakukan dengan cara tambang terbuka, apabila endapan bijih ditemukan tidak terlalu dalam. Dapat juga dilakukan dengan penambangan dalam (underground) dengan membuat terowongan.  Pengangkutan dengan menggunakan alat-alat berat. Inventasi untuk usaha di industri pertambangan tembaga memerlukan biaya yang sangat besar. Oleh sebab itu usaha pertambangan jenis ini hanya mampu dilaksanakan oleh perusahan multi internasional.
Khusus untuk tambang tembaga Grasberg dan Batu Hijau adalah tipe porfiri. Cebakan tembaga tipe porfiri mempunyai dimensi besar dan kadar relatif rendah sehingga atas pertimbangan keekonomian, penambangan hanya dapat dilakukan dengan cara tambang terbuka (open pit mining). Pengupasan lapisan penutup (overburden) dan penambangan bijih dilakukan dengan sistem jenjang (benches). Cebakan bijih tembaga yang sangat tebal memerlukan banyak jenjang, dengan lebar dan tinggi jenjang diupayakan untuk dapat menahan batuan yang berhamburan saat peledakan, dan menyediakan ruang gerak yang memadai untuk alat pembongkar (excavator) dan unit pemuat (haulage).

 
Gambar 4.1. Tambang Batu Hijau, Sumbawa, NTB dengan cara tambang terbuka (open pit mining)

      Cebakan tembaga porfiri berdimensi sangat besar, dengan sebaran bijih ke arah lateral bisa mencapai satu kilometer atau lebih, dan sebaran lebih dari satu kilometer ke arah vertikal; sehingga pit (lubang tambang) yang dibuat mempunyai lebar lebih dari dua kilometer, kedalaman penambangan disesuaikan dengan sebaran bijih ekonomis yang dapat diambil. Karena penambangan dilakukan dengan cara menggali dan memindahkan material dalam jumlah sangat besar, maka Tambang Grasberg dan Batu Hijau mengoperasikan peralatan-peralatan berteknologi tinggi berukuran raksasa dan berkapasitas angkut sangat besar.
      Oleh karena sangat besarnya material yang dipindahkan, maka diperlukan lahan luas dan secara teknis aman untuk penampungan bijih (stock pile), limbah tambang (waste) yang ikut tergali, serta ampas pengolahan (tailing). Material yang pada desain tambang berada di atas batas akhir pit seluruhnya akan tergali, baik berupa batuan samping yang tidak mengandung bahan berharga maupun bijih kadar rendah yang belum mempunyai nilai ekonomi. Mengingat kecenderungan harga logam tembaga yang terus naik, maka bijih kadar rendah yang mempunyai peluang untuk menjadi ekonomis di masa yang akan datang, disimpan sebagai stock pile yang terpisah dari bijih kadar ekonomis. Apabila terjadi peningkatan harga tembaga dengan akibat bijih kadar rendah menjadi ekonomis untuk diusahakan, maka dapat dilakukan pengolahan secara terpisah atau dicampurkan bersama bijih kadar tinggi. 

Gambar 4.2  Tubuh bijih pada Distrik Grasberg

      Saat ini Grasberg ditambang dengan metode tambang terbuka. Namun karena bukaan yang semakin dalam, sekitar tahun 2015, cara penambangan akan diubah menjadi tambang bawah tanah. Jika semua terwujud, tambang bawah tanah Grasberg akan menjadi salah satu yang terbesar. Tambang tembaga terbesar di Indonesia adalah yang diusahakan PT Freeport Indonesia di area Grasberg, Papua. Freeport juga mengoperasikan beberapa tambang bawah tanah besar, meski dengan kemampuan produksi yang masih berada di bawah Grasberg.

5. Pengolahan Bijih Tembaga

      Pengolahan bijih tembaga melalui beberapa tahap, yaitu: liberasi, pengapungan (flotasi), pemanggangan, peleburan, pengubahan dan elektrolisis. Proses pengolahan dari tahap liberasi (peremukan dan penggerusan) sampai flotasi dilakukan di wilayah eksploitasi bijih tembaga. Proses selanjutnya dilakukan di smelter yang berada di Gresik, Jawa Timur. 
      Pabrik pengolahan (mill) menghasilkan konsentrat tembaga dari bijih yang ditambang melalui pemisahan mineral berharga dari pengotornya. Langkah-langkah utamanya adalah penghancuran, penggerusan, pengapungan, dan pengeringan. Penghancuran dan penggerusan mengubah bongkah bijih menjadi berukuran halus. Penghalusan ukuran butir berfungsi untuk membebaskan butiran yang mengandung tembaga dan emas, serta untuk proses pemisahan dan menyiapkan ukuran yang sesuai dengan proses selanjutnya. 
      Bijih yang sudah halus diolah selanjutnya melalui proses flotasi, yaitu untuk menghasilkan konsentrat tembaga. Permukaan mineral yang bersifat hydrophobic atau aerophilic (menolak air) dipisahkan dengan yang bersifat hydrophilic atau aerophobic (menerima air). Pada proses pengapungan (flotasi), bubur konsentrat (slurry) yang terdiri dari bijih yang sudah halus (hasil gilingan) dicampur dengan reagen, kemudian dimasukkan ke dalam rangkaian tangki pengaduk yang disebut sel flotasi, secara bersamaan dipompakan udara ke dalam slurry tersebut. 

   
Gambar 5.1 Permukaan gelembung buih flotasi (kiri) dan Luapan buih slurry (kanan) mengandung konsentrat bijih tembaga.

      Reagen yang digunakan berupa kapur 600 gram/ton bijih, pembuih (frother) dan kolektor. Kapur berfungsi untuk mengatur pH. Pembuih membentuk gelembung stabil yang tidak mudah pecah. Gelembung-gelembung mengapung ke permukaan sel flotasi sebagai buih. Reagen kolektor bereaksi dengan permukaan partikel mineral sulfida logam berharga, sehingga menjadikan permukaan tersebut bersifat menolakair (hydrophobic). Butir mineral sulfida tersebutmenempel pada gelembung udara yang terangkat dari zona slurry ke dalam buih yang mengapungdi permukaan. Buih bermuatan mineral berharga tersebut yang menyerupai buih deterjen berkilapmetalik akan meluap dari bibir atas mesin flotasi dan masuk ke dalam palung (launders)sebagai tempat pengumpulan mineral berharga. Mineral berharga yang terkumpul di dalam palung tersebut adalah konsentrat. Konsentrat (dalam bentuk slurry, 65% padat menurut berat) dipompa ke pelabuhan melalui jaringan pipa slurry. Pada Tambang Grasberg panjang jaringan pipa tersebut 115 km. Selanjutnya konsentrat dikeringkan sampai kandungan airnya tinggal 9% dan kemudian dikapalkan untuk dijual.
      Emas kasar dan bebas, tidak bereaksi dengan baik pada proses flotasi. Emas tersebut dipisahkan dan diambil dengan menggunakan konsentrator, yaitu sebuah sistem pengambilan yang juga berfungsi sebagai pemisahan, dilakukan secara gravitasi dan menggunakan daya sentrifugal. Dengan demikian, perolehan emas dari bijih akan mengalami peningkatan. Bahan yang tak bernilai ekonomi terkumpulkan di dasar sel flotasi, sebagai limbah yang disebut tailing. Tailing ini disalurkan menuju areal pembuangan (tailing dump).

Peleburan dan Pemurnian
      Konsentrat tembaga dari hasil proses flotasi mengandung beberapa unsur dengan kisaran kadar: 30% Cu, 30 ppm Au, 50 ppm Ag, 30% S, 25% Fe, 15% gangue minerals yang selanjutnya dilebur dan dimurnikan di Gresik, Jawa Timur. PT Smelting didirikan di Gresik Jawa Timur sebagai pabrik peleburan dan pemurnian konsentrat tembaga pertama di Indonesia dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku tembaga di dalam negeri, yang mengolah sebagian produksi konsentrat PT Freeport Indonesia (Grasberg) dan PT Newmont Nusa Tenggara (Batu Hijau). Sebagian besar (60%) katoda tembaga produk PT Smelting diserap oleh industri dalam negeri dan selebihnya diekspor. Konsentrat tembaga hasil proses flotasi dipanggang untuk mengubah besi sulfide menjadi besi oksida, sedangkan tembaga tetap sebagai sulfida melalui reaksi : 4CuFeS2 + 9O2> 2Cu2S + 2Fe2O3 + 6SO2. 
      Konsentrat bijih yang sudah melalui pemanggangan kemudian dilebur hingga mencair dan terpisah menjadi 2 (dua) lapisan. Lapisan bawah berupa copper matte, mengandung Cu2S dan besi cair, sedangkan lapisan atas merupakan terak silikat yang mengandung FeSiO3. Copper matte dipisahkan dari terak berdasarkan perbedaan gravitasi. Selanjutnya copper matte (68% Cu) dipindahkan ke dalam tungku lain dan secara bersamaan ditiupkan udara sehingga terjadi reaksi redoks yang menghasilkan tembaga lepuh (blister copper, 98,9% Cu). 

 
Gambar 5.2 Diagram alir peleburan tembaga di Gresik, Jawa Timur (sumber: www.smelting.com)

      Pemurnian tembaga dilakukan dengan cara elektrolisis. Tembaga lepuh digunakan sebagai anoda, sedangkan tembaga murni digunakan sebagai katodanya. Elektrolit yang digunakan adalah larutan CuSO4. Selama proses elektrolisis, Cu dipindahkan dari anoda ke katoda, dengan menggunakan potensial tertentu sehingga bahan pengotor dapat terpisah. 
Unsur-unsur dan mineral ikutan dalam konsentrat yang diolah PT Smelting, menjadi bagian dari by product yang terdiri atas gas buang SO2, lumpur anoda (anode slime), terak besi (slag) dan gipsum. Limbah gas SO2 tersebut diproses lebih lanjut menjadi asam sulfat yang dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk, sedangkan terak besi dan gipsum digunakan sebagai bahan baku industri semen. Lumpur anoda mengandung emas berkadar ± 3,25% dan ± 6,25 % perak diekspor.

      Terdapat tiga proses pengolahan untuk mendapatkan logam tembaga (dalam Sukandarrumidi, 2009). Proses tersebut adalah
1. Proses pyrometallurgy, yaitu proses pengolahan bijih dengan temperature tinggi dari hasil pembakaran bahan bakar.
2. Proses hidrometallurgi, yaitu proses pengolahan bijih dengan melarutkan bijih yang kemudian dipisahkan lagi dari larutan tersebut, sehingga didapatkan unsure tembaga yang bebas dari unsure lain.
3. Proses elctrometallurgy, yaitu proses pengolahan bijih dengan tenaga listrik seperti pada eloktrolisa dan elektrothermis.

6. Kesimpulan
      Penggunaan tembaga terus mengalami peningkatan sehingga eksplorasi intensif untuk mendapatkan cebakan tembaga masih berlangsung di seluruh dunia terutama untuk memenuhi kebutuhan industri, dan karena merupakan konduktor listrik yang sangat baik sehingga tembaga digunakan untuk produk elektronik. Sementara konsumsi tembaga untuk bahan bangunan menempati urutan kedua, antara lain untuk bahan baku pembuatan pipa, ventilasi, dan logam lembaran.
      Endapan tembaga terbentuk dengan berbagai cara antara lain, yaitu : terbentuk dengan cara replacement, terbentuk oleh pembekuan magma, terbentuk oleh metasomatisme kontak ,terbentuk berupa endapan sedimenter tembaga. Khusus di Indonesia saat ini cebakan tembaga yang ekonomis diusahakan adalah tipe porfiri.Cebakan tembaga tipe porfiri di Indonesia dapat dijumpai di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Tetapi hanya cebakan porfiri Grasberg dan Batu Hijau yang dapat diusahakan secara ekonomis. Dari cebakan Grasberg dan Eastberg, kemudian disusul oleh pengusahaan pertambangan kedua dari cebakan Batu Hijau di Sumbawa merupakan pengusahaan pertambangan bijih tembaga berskala besar pertama di Indonesia .
      Tahapan eksplorasi endapan bijih tembaga uumumnya mengikuti eksplorasi yang umumnya dilakukan pada endapan bijih bahan tambang lainnya, yaitu :
1. Tahap Eksplorasi Pendahuluan
a. Studi Literatur
b. Survei dan Pemetaan
2. Tahap Eksplorasi Detail
3. Studi Kelayakan
      Teknik penambangan tembaga dilakukan dengan cara tambang terbuka, apabila endapan bijih ditemukan tidak terlalu dalam. Dapat juga dilakukan dengan penambangan dalam (underground) dengan membuat terowongan.  Hal ini tergantung tipe cebakan dan kondisi geologi. Khusus untuk tambang tembaga Grasberg dan Batu Hijau adalah tipe porfiri. Cebakan tembaga tipe porfiri mempunyai dimensi besar dan kadar relatif rendah sehingga atas pertimbangan keekonomian, penambangan hanya dapat dilakukan dengan cara tambang terbuka (open pit mining).
Terdapat tiga proses pengolahan untuk mendapatkan logam tembaga (dalam Sukandarrumidi, 2009). Proses tersebut adalah
4. Proses pyrometallurgy, yaitu proses pengolahan bijih dengan temperature tinggi dari hasil pembakaran bahan bakar.
5. Proses hidrometallurgi, yaitu proses pengolahan bijih dengan melarutkan bijih yang kemudian dipisahkan lagi dari larutan tersebut, sehingga didapatkan unsure tembaga yang bebas dari unsure lain.
6. Proses elctrometallurgy, yaitu proses pengolahan bijih dengan tenaga listrik seperti pada eloktrolisa dan elektrothermis.




PUSTAKA
Sukandarrumidi, 2009. Geologi mineral logam. Gadjahmada University Press, Yogyakarta

Suprapto, Sabtanto Joko.,2008,. Pertambangan Tembaga di Indonesia : Raksasa Grasberg dan Batu Hijau, Warta Geologi volume 3 no.3 September 2008 hal 6-13.Ba

Mahler, Armando .2008, Dari Grasberg sampai Amamapare. Gramedia

file://localhost/E:/flash/tahapan-kegiatan-eksplorasi.html

2 komentar: